Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai ketatanegaraan.1 Berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya konstitusi yang mendasarinya. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Konstitusi merupakan dasar dari tatanan hukum sebuah negara, yang di dalamnya terdapat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengatur tentang
distribusi kekuasaan (Distribution of Power) dalam penyelenggaraan negara. Konstitusi biasanya juga disebut sebagai hukum fundamental negara, sebab konstitusi ialah aturan dasar. Aturan dasar yang nantinya akan menjadi acuan bagi lahirnya aturan-aturan hukum lain yang ada dibawahnya.
Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen resmi, seperangkat norma hukum yang hanya dapat diubah di bawah pengawasan ketentuan-ketentuan khusus, yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan norma-norma ini lebih sulit. Konstitusi dalam arti material terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan undang-undang.
Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam bukunya, konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.3 Penting bagi sebuah negara memiliki konstitusi sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan sebuah negara. Untuk itu dalam penyusunan konstitusi harus merupakan hasil dari nilai-nilai dan norma berbangsa dan bernegara yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, penyusunan konstitusi menjadi sebuah pekerjaan yang mendasar bagi sebuah negara untuk menentukan sistem
hukumnya.
Di Indonesia, konstitusi yang digunakan merupakan konstitusi tertulis yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau biasa disebut UUD 1945. UUD 1945 pertama kali disahkan sebagai konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mempertegas kedudukan Undang-Undang Dasar sebagai sebuah Hukum Dasar.
Namun dalam perjalanan proses penyelenggaraan negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat perubahan pertama, yaitu perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002. Perubahan yang terjadi merupakan hasil dari pergolakan politik pada masanya. Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elite politik yang memegang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi.
Meskipun demikian, perubahan Undang-Undang Dasar tetap bertujuan untuk memperkuat konstitusi dan bukan sebaliknya. Undang-Undang Dasar ini (pasca Amandemen) dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee).
Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakukan terhadap materi tertentu dengan menetapkan naskah Amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD, sedangkan menurut tradisi Eropa perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD. Jika perubahan menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang asli itu tidak banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, jika materi yang diubah berbilang banyaknya dan apalagi isinya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali. Dalam hal demikian, perubahan identik dengan penggantian. Tetapi dalam tradisi Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, materi yang diubah biasanya selalu menyangkut satu ‘issue’ tertentu. Bahkan Amandemen I sampai dengan Amandemen X pada pokoknya sama-sama menyangkut ‘issue’ Hak Asasi Manusia.
Perubahan konstitusi memang telah dilakukan di Indonesia. Namun bukan berarti perubahan yang dilakukan telah mengatasi semua masalah ketatanegaraan dan tidak menimbulkan masalah baru. Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, beberapa permasalahan ketatanegaraan justru muncul. Amandemen telah melahirkan beberapa lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MK hadir dengan salah satu kewenangannya adalah pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang selama pemerintahan orde baru tidak ada lembaga manapun yang berwenang terhadap
permasalahan tersebut. Namun di sisi lain, perubahan UUD telah melahirkan pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan di dua atap. MK yang berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, sedangkan MA memiliki kewenangan menguji peraturan yang berada di bawah undang-undang. Padahal keduanya merupakan lembaga negara yang terpisah. Lembaga perwakilan juga memunculkan permasalahan terkait munculnya DPD. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan salah satu lembaga negara dengan fungsi legislasi yang amat sangat terbatas. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjelaskan, DPD hanya memilki kewenangan
untuk mengusulkan sebuah rancangan undang-undang dan ikut membahas sebuah rancangan undang-undang. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa DPD selaku salah satu pemegang fungsi legislasi, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menjadi legislator dalam mengesahkan suatu rancangan undang-undang. Sebagai sebuah lembaga negara dengan fungsi legislasi dalam MPR, kewenangan tersebut jelas tidak setara dengan kewenangan lembaga negara lainnya yang memiliki fungsi legislasi, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketika terjadi reformasi konstitusi (UUD 1945) tahun 1999, muncul beberapa kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan UUD 1945, antara lain mempertegas sistem presidensiil. Namun dalam kenyataannya kesepakatan tersebut tidak ditaati secara konsisten oleh MPR. Pembongkaran konstruksi presidensialisme dalam UUD 1945 secara signifikan pada perubahan pertama (1999), kemudian penguatan kelembagaan DPR pada perubahan kedua (2000), bukannya melahirkan keseimbangan kekuasaan antara presiden dan DPR, tetapi
justru menimbulkan ketidakjelasan sistem presidensiil yang ingin dibangun melalui Perubahan UUD 1945. Kesan ‘parlementernya’ justru semakin menguat.
Melihat dinamika yang terjadi di Indonesia saat ini, banyak pihak merasa perlu adanya perubahan kembali terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena dirasa harus ada penguatan pada beberapa sektor sistem ketatanegaraan. Berangkat dari hal tersebut, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berinisiatif mengajukan usulan untuk
mengamandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). DPD beranggapan Undang-Undang Dasar harus kembali diamandemen dengan beberapa alasan tertentu. Alasan-alasan tersebut diantaranya : Memperkuat Sistem Presidensial, Memperkuat Lembaga Perwakilan, Memperkuat Otonomi Daerah, Calon Presiden Perseorangan,Pemilahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, Forum Previlegiatum, Optimalisasi Peran Mahkamah Konstitusi, Penambahan Pasal Hak Asasi Manusia, Penambahan Bab Komisi Negara, dan Penajaman Bab tentang Pendidikan dan Perekonomian.